Milan [3]

milan_city1

Title      : Milan

Author   : Ra Matahari (@raysooya)

Cast      : Choi Sooyoung & Shim Changmin

Length   : Chaptered

Rating   : General

Genre   : Romance, Metropop, Slice of Life

Disclaimer : Milan adalah karya fiksi asli saya meskipun nama dan karakter dalam cerita ini didasarkan pada karakter nyata. Jika ada kesamaan plot/cerita hal tersebut murni ketidaksengajaan.

This work just purely for entertainment purpose.

***

Prev : Milan [1] Milan [2]

And their story continued… in Milan.

Milan – Chapter Three

Tumitku benar-benar bengkak. Padahal sudah seharian ini aku merendamnya dengan larutan garam mineral tetapi rasa sakitnya tak kunjung hilang. Semua ini salah Maximillian Rodrigueze, lelaki sinting yang tengah punya masalah dengan penagih hutang itu. Kalau dia tidak menyeretku berlari sejauh itu kemarin, tentulah aku tidak akan mengalami cidera ini. Alhasih sehari ini aku diam di apartemenku dan rencanaku untuk mencari pekerjaan tertunda.

Karena tidak melakukan apapun, aku menyibukkan diri dengan membaca. Sebenarnya tadinya aku ingin membuat desain, tapi begitu menyadari bahwa cat airku habis aku memutuskan untuk membaca saja. Moodku benar-benar sedang jelek saat ini, jadi kupikir dengan membaca beberapa manga yang bagus akan menaikkan mood-ku kembali.

Pukul 3 sore aku memutuskan untuk keluar dan membeli camilan. Tetapi pada saat aku membuka pintu, Max sudah berdiri di depanku. Dia memeluk sebuah kantong belanja dengan satu tangan sementara tangan kirinya membawa sebuah amplop cokelat.

’Alo. Buon pomeriggio, Sooyoung.” Sapanya. Aku mendengus.

“Kenapa lagi?”

Max menyeringai kemudian langsung masuk ke dalam apartemenku tanpa dipersilahkan. Aku menatap lelaki itu dengan tatapan  tak percaya. Laki-laki itu mengabaikan tatapan tidak senangku dan malah meletakkan kantong belanjanya di meja.

“Belanjaku hari ini berat sekali.” Max membongkar belanjaannya dan menebarnya di atas mejaku. Ada buah-buahan, roti, keju, sekotak pizza dan beberapa kaleng kopi. Max membuka kardus pizza dan mencomot satu potong. Tanpa sadar perutku berbunyi keras.

“Kau mau?” Tanyanya sambil menoleh ke arahku. Tanpa berpikir panjang aku mengangguk dan duduk di depannya. Dengan rakus aku segera menjejalkan sepotong pizza ke mulut. Dalam sekejap, aku dan Max telah mengahbiskan pizza dengan topping jamur dan berbagai jenis keju tersebut.

“Mmm… è delizioso,”Max menggumam begitu kami menyikat habis potongan terakhir. Aku mengangguk-angguk. Tidak kenyang sih, tapi harus kuakui pizzanya enak sekali.

“Uh, eh… Grazie, Max,” aku mengucapkan terima kasih dengan kaku. Max tampaknya tidak mempermasalahkannya. Lelaki itu kini menyodorkan sekaleng kopi kepadaku  yang kuterima dengan senang hati.

“Come sono tue piedi—Bagaimana kakimu? Sudah baikan?” Tanya Max sembari tangannya menarik cincin pembuka kaleng.

Non è troppo –Tidak ada kemajuan. Masih sakit,”jawabku tanpa memandangnya. “Kau harus bertanggung jawab, Max. Kalau aku sampai tidak mendapat pekerjaan, semua ini salahmu.”

Max hanya tertawa kecil. “Yeah… Bagaimana bisa kau minta pertanggung jawaban soal pekerjaan pada orang yang juga sedang mencari pekerjaan,” candanya yang langsung kusambut dengan tatapan galak.

“Aku tidak akan bisa hidup sampai akhir bulan ini,” desahku.

“Perché?”

“Sisa uang di tabunganku nggak banyak. Kulkasku juga kosong melompong dan aku ragu aku bisa mencari makanan untuk makan malam nanti.” Keluhku. Max menepuk-nepuk pundakku penuh simpati.

“Kalau begitu, nanti makan di tempatku saja.” Katanya sambil mengerling ke arah belanjaannya. Aku menyipitkan mata.

“Memangnya kau bisa memasak?” Tanyaku curiga. Lelaki itu tergelak.

Dio mio! Tentu saja. Kau pikir aku mau membuang-buang uang untuk makanan yang dijual dalam keadaan matang dengan keadaan finansialku yang tipis ini. Oi, signorina. Orang-orang seperti kami harus pintar-pintar menyiasati keuangan jika ingin tetap bertahan hidup.”

Kata-katanya membuatku ingin menutupi mukaku dengan bantal dan aku mulai berharap bumi akan segera menelanku.

Karena… Sebagai seorang yang bernasib tidak jauh berbeda dengannya, sebagai seorang perempuan, selama ini aku selalu membeli makanan dalam keadaan  matang.

***

Aku tidak pernah memasak –dalam artian benar-benar “memasak”, bukan Cuma menjerang air untuk membuat makanan instan—seumur hidupku. Dulu sewaktu masih tinggal di Seoul, Soojin yang selalu memasak. Maka mendengar jika seorang lelaki bisa memasak selalu membuatku kagum. Begitu pula yang kurasakan ketika Max menyatakan bahwa dia bisa memasak. Ada sedikit kekaguman di hatiku –sedikit loh ya, sedikit.

Ketika hari sudah berangsur gelap, aku mengetuk pintu apartemen sebelahku. Tapi tidak ada jawaban. Ugh… kemana, sih, si Max ini? Jangan bilang dia kabur setelah menawariku makan di tempatnya. Aku mengetuk sekali lagi tapi tetap tidak ada jawaban.

Karena kesal, dengan iseng aku mencoba untuk membuka pintu. Ternyata pintunya tidak terkunci.

Begitu aku masuk ke dalam apartemen Max, aku dibuat terkejut dengan ruang utama yang penuh dengan serakan kertas dan buku. Sepertinya kakiku sudah mendarat di lautan buku. Semuanya tampak sangat berantakan. Pakaian tergeletak di sembarang tempat dan… ya ampun. Aku geleng-geleng kepala.

Satu-satunya bagian yang tampak rapi adalah sudut dapur yang disekat dengan sebuah rak buku.

Tanganku refleks mengambil buku-buku yang berserakan di bawah dan mulai menumpuk dan merapikannya.

A Brief History of Time, String Theory : Parallel Universe, Hawking’s Paradox Controversy, Stars and Constellation.

Ya ampun. Buku-buku apa ini?

Keningku mengerut saat aku iseng membuka satu buku.

Galileo’s measurements were used by Newton as the basis of his laws of motion. In Galileo’s experiments, as a body rolled down the slope it was always acted on by the same force (its weight), and the effect was to make it constantly speed up. This showed that the real effect of a force is always to change the speed of a body, rather than just to set it moving, as was previously thought. It also meant that whenever a body is not acted on by any force, it will keep on moving in a straight line at the same speed. This idea was first stated explicitly in Newton’s Principia Mathematica, published in 1687, and is known as Newton’s first law.

 Cosa?

Aku memijit-mijit keningku. Hanya membacanya sekilas sudah mebuat kepalaku pening tak kepalang. Orang macam apa sih, yang mau repot-repot membaca buku seperti ini?

Tentu saja orang sinting macam Max. AKu mendesah. Satu kejutan lagi tentang Max, rupanya lelaki itu seorang yang maniak fisika –buktinya buku-bukunya berisi tentang fisika semua.

“Oh, Sooyoung?” Max muncul dari pintu depan. Aku sudah hampir selesai merapikan buku-bukunya. Dia menyipitkan mata melihat sekarang apartemennya sedikit lebih rapi.

“Apa yang kau lakukan dengan apartemenku?”

“Oh, erm… itu, aku hanya merapikannya,” aku menjawab setengah grogi. Tanganku menggaruk-garuk tengkuk –hal ini selalu kulakukan jika aku merasa gugup.

Max tersenyum kecil kemudian menuju dapur. Dia menenteng sebuah kantong belanja (lagi) di tangannya.

“Kau belanja lagi?” Aku menjejerinya.

“Yeah… Aku lupa membeli susu,” jawabnya. Aku menatapnya heran.

“Untuk apa susu?”

“Saus béchamel. Kita akan buat lasagna,” ujarnya.

“Bukan kita, Max. Hanya kau yang akan memasak.” Max memutar matanya dengan sebal mendengar perkataanku.

“Kalau begitu, jauh-jauhlah dari dapurku,” tangannya membuat gesture mengusirku yang kusambut dengan nyengir lebar. Aku akhirnya memilih untuk bergelung di sofa sambil iseng membaca bukunya yang tadi kucampakkan begitu saja karena aku tidak mengerti sama sekali.

“Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa tahan membaca buku-buku seperti ini,” komentarku. Max menoleh ke arahku.

“Aku juga tidak mengerti bagaimana bisa kau keras kepala ingin bekerja di industri fashion,” jawabnya dengan santai. Aku mendengus.

“Apa menariknya buku-buku ini?” Aku bertanya lagi sambil membalik-balik halaman buku itu tanpa minat. Max mengangkat bahu.

“Kita bisa mengerti dan mencari rahasia alam.” Jawabannya itu membuatku tertawa terbahak-bahak.

“Kau terdengar seperti ilmuwan sinting, tahu tidak?”

Max mengabaikan komentarku. Dia sekarang tengah mengaduk-aduk panci dan menyiapkan loyang. Aku mulai merasa bosan sehingga kuputuskan untuk melihat Max yang sedang memasak.

Ketika aku berdiri, sesuatu jatuh di kakiku. Selembar foto. Aku membungkuk dan memungutnya. Di dalam foto itu Max sedang berdiri bersisian dengan seorang pemuda lain. Mereka berdua berpose di sebuah piazza, yang segera kukenali sebagai piazza San Marco di Venesia.

“Kau pernah ke Venesia?” Tanyaku sambil mengacungkan foto tersebut. Max hanya mengangguk malas. Kali ini dia sedang menyiapkan lasagna.

“Aku juga pernah kesana. Kau mampir ke Cafe Florian, tidak? Latte di sana sangat terkenal. Sayang aku tidak sempat ke sana. Aku hanya sebentar di  Venesia,” aku terus mengoceh walaupun aku tahu Max tidak memperhatikanku.

“Sooyoung, bisa bantu melapisi lasagna?”

Aku menghampiri Max dan berdiri di sampingnya. Max mengangsurkan sendok sayur besar dan dua buah panci berisi saus béchamel yang berwarna putih dan saus tomat.

“Jadi, lapisi dulu dengan saus tomat, kemudian masukkan adonan daging. Siram dengan saus putih dan parutan keju. Kemudian tutup dengan kulit lasagna lagi. Begitu terus sampai loyangnya penuh. Mudah kan?” Max menatap ke arahku. Aku hanya mengangguk-angguk tanda mengerti.

Setelah kegiatan lapis-melapis itu selesai, Max memasukkan Loyang ke dalam oven dan kami menunggu hingga lasagna tersebut matang. Blackberry milik Max tiba-tiba berbunyi dan lelaki itu keluar dari apartemen. Aku sebenarnya tidak berniat untuk emnguping, tetapi ternyata suara Max cukup keras sehingga aku tidak sengaja mendengar percakapan telepon tersebut.

Aku tertegun ketika sayup-sayup kudengar Max menyebut sesuatu seperti, “Aniya, Kyuhyun-ah.”

Tunggu dulu, bukankah itu bahasa Korea yang digunakan Max? Dia bisa berbahasa korea? Aku menggaruk-garuk kepalaku karena bingung. Kyuhyun juga tidak salah lagi, adalah nama orang Korea. Ah, sudahlah. Mengapa aku malah bingung memikirkan lelaki itu sih?

Sejurus kemudian, Max sudah kembali. Aku menahan diri untuk tidak menanyakan tentang telepon barusan. Huh, memangnya aku siapanya sampai ingin tahu telepon yang diterimanya?

“Telepon dari teman,” kata Max, seperti bisa membaca pikiranku. Aku hanya melongo.

“Aku tidak ingin tahu, kok.” Jawabku pura-pura cuek. Max hanya tersenyum kecil kemudian lelaki itu menuju dapur untuk mengeluarkan lasagna dari oven. Aroma harum nan lezat langsung menguar di seluruh ruangan, membuat perutku semakin lapar.

“Yeah, ayo kita makan!” Ujar Max dengan penuh semangat.

***

Lasagna itu tandas dalam sekejap, dan yang membuatku takjub ternyata rasanya enak sekali. Max tidak membual jika dia benar-benar bisa memasak. Hal ini membuat kekagumanku pada lelaki ini bertambah sedikit –sudah kubilang sedikit, kan? Sedikittt sekali.

“Max, kau dulu, went to college, kan?” Aku memulai pembicaraan. Max yang sedang membaca bukunya menegakkan kepala dan menatapku.

“Begitulah,” jawabnya pendek sambil terus membaca. Sekali-kali lelaki itu mencoret-coret notes. Aku merasa agak penasaran dengan lelaki ini –agak, ya. Tidak terlalu penasaran berarti, kan.

“Kalau boleh tahu, kau mengambil major apa?” AKu kembali bertanya.

“Penting sekali untukmu?” Sahut Max yang membuatku salah tingkah.

“Um… tidak juga sih. Tapi, kau tahu, aku rasa kau mengambil major yang berhubungan dengan fisika ketika melihat buku-bukumu. AKu hanya ingin memastikannya,” ujarku sambil menusuk-nusuk lututku tak minat.

“Fisika kuantum dan fisika kosmologis.” Jawabannya mengandung nada risih. Tetapi aku tidak mundur.

“Kau belajar dimana?” AKu masih terus menanyainya.

“Oxford,” Lagi-lagi jawabannya singkat, mengindikasikan jika dia tidak suka ditanya-tanya terus.

”Lalu kenapa kau tidak bekerja sesuai bidangmu, sih? Kenapa kau malah menjadi sales dan yang lain-lainnya? ”

Kali ini Max menatapku tajam sambil mengangkat satu alisnya. Tatapannya membuatku merasa bersalah karena sudah terlalu jauh menganggunya. Tapi, Max kemudian menghela nafas dan sebuah senyum kesal terlukis di bibirnya.

“Kau banyak mau tahunya, ya. Aku tidak suka orang menanyaiku tentang hal-hal seperti itu.”

Aku sudah akan protes karena bukannya hal seperti siapa namamu berapa usiamu dank au belajar di mana adalah pertanyaan umum? Tetapi aku tidak melontarkan protes tersebut karena kulihat tiba-tiba Max berdiri. Sepertinya dia teringat sesuatu lalu lelaki itu menghilang ke dalam kamarnya. Ketika keluar lagi, dia membawa sebuah amplop cokelat –amplop yang tadi sore juga di bawanya.

Lelaki itu duduk di depanku dan menggeplakkan amplop itu ke kepalaku.

“Aw… kau apa-apaan sih?” Aku bersungut-sungut. Tetapi dia hanya tersenyum kecil.” AKu lupa memberikan ini padamu. Kutemukan di kotak surat sore tadi. Dialamatkan kepadamu.”

Aku menatapnya sangsi sebelum menerima amplop itu. Keningku berkerut. Jangan-jangan…

Jantungku berdegup begitu keras. Tanganku gemetaran saat membuka amplop tersebut dan mengeluarkan selembar kertas. Aku membaca tulisan yang tertera di atas kertas tersebut dengan hati-hati. Jantungku rasanya sudah melorot entah kemana.

Aku membaca sekali lagi surat itu untuk memastikan isinya. Tidak salah… Aku tidak sedang berkhayal.

We are inviting you, Miss. Choi, for attending interview at our office. La Belle Fashion Internazionale.

Aku segera melompat.”Max! Aku dipanggil untuk interview kerja!” Pekikku. Max tampak kaget dengan tingkahku, tapi tak lama kemudian ia tersenyum lebar.

Congratulazione, Sooyoung!” Lelaki itu mengulurkan tangan untuk menyalamiku. Aku melompat ke arahnya dan saking senangnya, aku tidak menyadari bahwa sekarang…

Aku sedang memeluknya erat-erat.

 ***

Kosakata bahasa Italia (ada beberapa yang bisa dilihat di chapter-chapter sebelumnya yaa)

è delizioso : enak
Come sono tue piedi : Bagaimana keadaan kakimu?
Non è troppo : ya begitulah/just so so. (tau kan ya maksudnya ._.)
Cosa?: What? Apa?

***

A/N : Haloo, ini Ra lagi. Maaf ya updatenya agak lama soalnya sekarang udah balik ke hari-hari sibuk lagi (baca : college T__T). Maaf juga ya chapter ini rada aneh dan pendek. Pokoknya maaf aja kalau chapter ini ga bagus. Tapi saya harap readers sekalian tetap menikmati membaca Chapter ini dan terus menunggu kelanjutan cerita ini hehehe. Makasih buat yang udah baca, dan jangan lupa komen tentang chapter ini dan saya selalu menunggu masukan-masukkan kalian agar cerita ini makin baik kedepannya. Oh iya, yang kutipan yentang Newton’s law itu diambil dari buku A Brief History of Time karya Stephen Hawking 🙂

dan… kalian suka nggak sama poster barunya heheheheh 😀

Cheers,

Ra 

22 thoughts on “Milan [3]

  1. Wow, aku ganyangka changmin sukanya yang berbau fisika. Kita gajodoh shim. #apasih
    Kayaknya chapter ini kerasa cepet ya thor, soalnya ceritanya sepanjang hari gitu ._. tapi gapapa kok, lanjutin ya thor jangan berhenti ditengah jalan, aku Max misterius banget sih T_T

    • yayayaya kamu ga jodoh sama changmin soalnya changmin jodohnya sooyoung #EHM
      iya ya kerasa cepet? pendek juga sih aku ngerasanya mah hehe. Asal kamu setia baca kan aku setia update ^^~

  2. Saia bacanya estafet dari 1 ampe 3, jadi komennya jadi satu aja yah disini hehe ~

    saia suka ceritanya tapi walaupun uda ampe 3 part saia belum dapet apa maksud ceritanya karena mungkin ffnya kurang panjang dan dalam setiap partnya menjelaskan bagian secara rinci (ini bagus) cuman ga dimbangi ama jalan cerita apa yang mau kamu ceritain disini -duh, ini maksud saia mengerti kan yah? hehe
    jadi saran saia unk part selanjutnya, langsung aja masuk dalam masalah dalam ff ini 🙂

    mmm, ff ini berasa sangat italiano, suka dehhh 😀
    kamu beneran hebat, salut deh ama kamu ^^

    semoga berkenan dgn komen saia, cepet rilis part 4nya yah see ya 🙂

    • halooo
      hmm mungkin karena part2 awal ini baru bagian2 awal ya karena rencananya ini bakal jadi ff vhapter yang lumayan panjang. Jadi untuk di awal aku buatnya pengenalan dulu antara Sooyoung dan Max yang mereka terbelit dalam satu masalah, yaitu sama-sama jobless. Dari situ ceritanya (rencanyanya baru mau bergulir-apasih bahasanya Ra wkwkwkwkwk)
      hahaha oke deh makasih komentarnya ntar part2 selanjutnya aku lebih jelasin deh inti ceritanya 😀
      Thanks udah baca dan komen 😉

  3. aku curiga lho sama Max, Kak Ra -aduh boleh ngga aku panggil gitu, bosen kalo manggil author-nim or author ngehehe.
    Jangan-jangan dia itu bukan sales. Tapi someone yang punya kedudukan tinggi dan dia hanya menguji Sooyoung dengan nyamar sbg si miskin itu. Dan entahlah, aku bingung. Imajinasiku kemana-mana ini aduh maaf ya hehe

    • halooo ~ hahaha gapap kok malah seneng daripada dipanggilin thor-thor mulu /emangnya tari tor-tor?
      humm memang sih si max ini mencurigakan sekali gelagatnya. Hum, semoga sooyoung bisa cepat-cepat menyingkap apa sebenernya maunya max ini. heheh gapapa imajinasi kamu bisa aku pertimbangin lhho buat next chapter.
      makasih yaa udah baca dan komen 🙂

  4. Pingback: Milan [4] | 난 널 사랑해

  5. Pingback: 난 널 사랑해

  6. Pingback: Milan [6] | 난 널 사랑해

Leave a comment